Batam | Nelayan asal Belakang Padang, Muhammad Efendi (31), menceritakan pengalaman mengejutkan yang dialami bersama 8 rekan-rekannya saat memancing di perairan dekat Pulau Nipah.
Ia dan rekan-rekannya hampir mati karena kapal patroli Polisi Maritim Singapura diduga mengintimidasi mereka saat sedang memancing. Polisi Singapore sengaja dengan membuat gelombang yang membuat kapal nelayan tenggelam. Kapal patroli berukuran besar bermanuver dilokasi kapal nelayan berukuran kecil.
“Kami biasa mancing disana tapi dianggap menggangu oleh Polisi Singapore, tiba-tiba kapal patroli mereka bermanuver dilokasi buat ombak kuat sampai kawan kami terlempar ke laut,” ujar Efendi menceritakan kejadian yang dialaminya, Sabtu (28/12/2024).
Ia mengaku lokasi dirinya dan rekan-rekan ketika turun memancing di perairan itu, masih dalam batas perairan Indonesia.
“Kami ada bawa GPS handphone, itu masih di perairan Indonesia. Dari dulu kami sering mancing disitu,” katanya.
Namun pihak Singapore mengklaim bahwa tempat nelayan itu memancing masuk kedalam perairan Singapore.
“Disana ada timbunan yang mereka klaim punya mereka. Padahal dulu tidak ada, itu laut Indonesia. Akibat adanya timbunan tanah yang membuat batas perairan tersebut semakin sempit,” kata dia.
Efendi menjelaskan bahwa sebelum adanya timbunan tersebut, para nelayan di daerah itu merasa aman dan tidak pernah mengalami masalah saat memancing di perairan yang kini menjadi batas antara Indonesia dan Singapura.
“Dulu kita mancing dengan tenang, tidak pernah diusir oleh pihak Singapura. Daerah itu memang sudah menjadi tempat kami mencari nafkah sejak dulu, dari zaman nenek moyang hingga menggunakan mesin modern,” kata Efendi.
Namun, situasi berubah setelah adanya timbunan yang mempersempit wilayah perairan tersebut, yang kini dianggap sebagai wilayah teritorial Singapura.
“Disana ada Pulau Tunas, Air Merbabu, pulau Pesek dan lainnya yang mereka klaim milik mereka,” jelas dia.
Ia menjelaskan, kejadian memanas pada tanggal 24 Desember 2024, ketika Efendi dan rekannya, termasuk Mahathir yang berusia 18 tahun, diterjang oleh aparat Singapura saat mereka sedang memancing.
“Mereka memutar perahu kami dengan keras, hingga satu orang jatuh ke laut. Mahathir terjatuh, tapi dia berhasil naik lagi, hanya untuk diputar sekali lagi. Kami hampir karam,” bebernya.
“Kami tetap diusir, meskipun tidak ada insiden yang sama seperti tanggal 24. Tapi kami harus keluar demi keselamatan,” jelas dia.
Mahathir yang saat itu didampingi Efendi tak dapat berkata-kata. Ia hanya bisa terdiam, wajahnya masih trauma atas kejadian yang dialami. Terlempar ke laut, lalu berupaya naik kapal namun dihempas ombak kapal patroli kembali.
“Untung saya tak kena kipas mesin, kalau tak, bise mati saya. Putus tangan kena kipas, untuk abang saya cepat bantu,” tuturnya.
Meski telah mengalami insiden tak sedap, Mahathir mengaku akan tetap datang memancing kelokasi itu.
“Tak takut saya, dari masih kecil saya sudah mancing dibawa bapak kesitu. Tak pernah ada masalah, sekarang jadi masalah. Laut nenek moyang kami itu,” ketusnya kesal.
Disamping itu, Efendi pun berharap ada tindakan dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. Pihaknya meminta pemerintah turun langsung dan memastikan daerah teritorial agar nelayan tradisional nyaman melaut.
“Kami meminta pemerintah untuk melihat masalah ini dengan serius. Kami tahu batas wilayah mereka, dan jika kami salah masuk, kami siap untuk keluar. Tapi kami berharap kejadian seperti ini tidak terulang lagi,” ujar Efendi.
Kepala Cabang Dinas Kelautanan dan Perikanan Provinsi Kepri Syahrul menyayangkan adanya tindakan yang dilakukan oleh polisi Singapore.
“Kami sesalkan seharusnya tidak boleh seperti itu. Kan bisa dengan cara-cara yang baik,” kata dia.
Dikatakannya, DKP akan menyuarakan permasalahan tersebut ke pihak Singapore agar tidak melakukan hal-hal yang arogan dengan nelayan Batam.
“Kami akan suarakan ini agar mereka bisa lebih manusiawi lah terhadap nelayan kita,” jelas dia.
Selain itu, pihaknya akan membantu nelayan Kepri dengan peralatan yang memadai agar dapat melaut dengan aman.