Jakarta | Bank Indonesia (BI) kembali mengingatkan para pedagang bahwa di tengah kemudahan penggunaan pembayaran non-tunai, mereka tetap tidak boleh menolak pembayaran tunai.
Selain itu, biaya layanan QRIS harus ditanggung oleh pedagang dan tidak boleh dibebankan kepada pembeli.
Tren ekonomi digital di Indonesia menunjukkan peningkatan transaksi non-tunai atau cashless. Namun, kemudahan ini membuat sejumlah pedagang menolak transaksi tunai dengan alasan kepraktisan dan keamanan. Hal ini memicu pertanyaan: apakah boleh pedagang menolak pembayaran tunai?
“Kalau misal pedagang menambahkan biaya atau menolak, boleh atau tidak? Tidak boleh,” tegas Deputi Gubernur BI, Filianingsih Hendarta, Minggu, 20 Oktober 2024.
Filianingsih menjelaskan bahwa pembeli yang menemukan praktik semacam itu bisa melaporkannya ke BI. Pedagang yang membebankan biaya layanan kepada pembeli akan dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan BI tentang Penyedia Jasa Pembayaran.
Dalam Pasal 52 peraturan tersebut, disebutkan bahwa penyedia barang dan jasa dilarang mengenakan biaya tambahan kepada pengguna atas penggunaan jasa pembayaran.
“Sanksi dapat berupa penghentian kerja sama dengan merchant yang melanggar aturan. Pedagang yang melanggar bisa masuk daftar hitam,” tambahnya.
Hingga kini, BI masih menemukan praktik pedagang yang membebankan biaya layanan QRIS, atau Merchant Discount Rate (MDR), kepada pembeli. Biaya MDR untuk usaha mikro ditetapkan sebesar 0,3% dari nilai transaksi yang melebihi Rp100 ribu. BI menegaskan bahwa pedagang tidak boleh membebankan biaya ini kepada pembeli.
Di sisi lain, Deputi Gubernur BI Doni Primanto Joewono menegaskan bahwa pedagang tidak boleh menolak pembeli yang menggunakan uang koin.
“Pasal 23 Undang-Undang Mata Uang jelas menyatakan bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah sebagai alat pembayaran di wilayah NKRI,” ujar Doni di Jakarta, Kamis, 17 Oktober 2024.
Larangan penolakan pembayaran tunai ini merujuk pada Pasal 23 UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dengan demikian, pedagang wajib memberikan opsi pembayaran tunai bagi pelanggan, selain opsi digital.
“Bank Indonesia tetap mencetak uang kartal, baik kertas maupun logam, dan distribusinya masih tumbuh. Hingga saat ini, total Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) tumbuh 9,96% (yoy) menjadi Rp1.057,4 triliun,” kata Doni.
Ia juga menambahkan bahwa pembayaran non-tunai memiliki keunggulan dalam efisiensi dan mencegah pemalsuan uang.
Marlison Hakim, Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI, menjelaskan bahwa masyarakat wajib menggunakan rupiah dalam transaksi, baik tunai maupun non-tunai.
“Kami tetap mendorong penggunaan pembayaran non-tunai, tetapi itu hanya soal cara. Prinsipnya tetap sama, yaitu penggunaan rupiah,” jelas Marlison.
Meski pembayaran non-tunai semakin diminati, kebutuhan akan uang tunai masih tinggi mengingat kondisi geografis dan keterbatasan teknologi di beberapa daerah.
BI berkomitmen untuk terus menyediakan uang tunai dan mendukung berbagai bentuk pembayaran yang menggunakan rupiah.